Moki tumbuh seperti kera lainnya. Ia ingin bermain bersama kera-kera kecil. Akan tetapi, setiap kali ia ingin bergabung, teman-temannya segera pergi. Ia juga selalau menjadi bahan ejekan.
"Haha, kera aneh," begitu ejek salah seekor kera.
"Moki mirip kera dari planet lain!" ejek kera lainnya.
Moki sedih sekali. Untungnya ibu Moki selalu membesarkan hatinya. "Semua makhluk itu sama di mata Tuhan. Kau tak perlu sedih, Nak," nasihat ibu Moki sambil memeluk Moki.
Moki selalu merasa damai usai mendengar nasihat ibu. Kini, jika ia tak punya teman bermain, Moki pergi ke dekat sungai. Ia bermain air sendirian untuk mengusir rasa sepinya.
Saat bermain air, Moki melihat seekor kucing kecil berpegangan pada batang kayu di tengah sungai. Kucing kecil itu berteriak-teriak minta tolong. Moki segera menyusuri sungai sambil mencari cara menyelamatkan kucing kecil.
Moki semakin bingung ketika melihat air terjun. Pegangan kucing kecil itu pada kasyu terlepas. Kucing itu pasti akan mati, pikir Moki. Ketika melihat sebatang kayu panjang, Moki mendapat ide. Ia segera mengulurkan kayu itu ke tengah sungai. Kucing kecil segera meraih kayu itu dan Moki menariknya sekuat tenaganya. Kucing itu akhirnya berhasil diselamatkan.
"Terima kasih kera kecil," kata kucing kecil. Moki tersenyum senang melihat kucing itu baik-baik saja.
"Namaku, Moki," kata Moki dengan napas masih tersengat-sengat.
"Aku, Lino," kucing kecil balas memperkenalkan diri.
"Auum..."
Tiba-tiba terdengar auman keras. Kucing kecil itu segera pergi. Moki pun ikut lari menyelamatkan diri.
Setahun kemudian, Moki menjadi kera remaja. Ia masih tinggal bersama keluarganya di pohon beringin besar di tengah hutan.
Suatu ketika, seekor macan tutul yang pandai memanjat pohon itu, sering muncul tiba-tiba. Hidup para kini dipenuhi kecemasan.
Moki pun pernah tertangkap oleh si Macam Tutul itu. Namun, ketika melihat keanehan pada bulu Moki, Macan Tutul menjadi jijik dan melepaskan Moki.
Sejak peristiwa itu, Moki selalu bersyukur. Ia tidak mengeluh lagi karena memiliki ekor pendek dan bulu-bulu yang jarang.
Kekejaman Macan Tutul terus berlanjut. Satu persatu ia memangsa kera penghuni pohon beringin. Banyak kera yang bersedih karena kehilangan anggota keluarganya. Banyak kera yang berencana untuk pindah rumah.
Suatu malam, Macan Tutul sangat lapar. Ia bersiap menghampiri pohon beringin tempat tinggal para kera. Saat ia merambat naik, tiba-tiba terdengar auman menggelegar. "Auuum..."
Dari arah selatan, muncul seekor singa berbulu lebat. Taringnya berkilau diterpa sinar rembulan. Kuku-kukunya mecuat keluar siap merobek daging. Kera-kera semakin ketakutan. Mereka pikir, Macan Tutul membawa teman seekor singa untuk menghabisi mereka.
Macan Tutul heran dengan kehadiran singa. Belum sempat ia bertanya, tiba-tiba Singa melompat menyerangnya.
"Tunggu, Singa! Apa yang kau lakukan? Bukankah aku tidak pernah mengganggumu?" protes Macan Tutul ketakutan. Tubuh Singa memang jauh lebih besar darinya. Ketakutannya jelas kalah jauh.
"Kau memang tidak pernah menggangguku. Tapi kau telah mengganggu seorang temanku di atas poho itu," jawab Singa.
Macan Tutul semakin ketakutan. " Maafkan aku, Singa! Maafkan aku! Aku berjanji tidak akan mengganggu temanmu lagi," kata Macan Tutul, lalu berlari secepat mungkin menembus kegelapan malam.
"Hei, Moki. Apa kau baik-baik saja di sana?" tanya Singa sambil mendongak ke atas.
Moki masih ketakutan di atas pohon berma teman-temannya. Ia terkejut ketika mendengar namanya di panggil.
"Si..... siapa kau? Apa aa... ku mengenalmu?" tanya Moki gemetar.
"Haha. Hei, Moki. Ini aku! Lino! Aku adalah singa kecil yang pernah kau tolong dulu," jawab singa sambil tertawa.
Moki terkejut. Ia lalu tertawa terbahak karena lega. Ia tak tahu kalau kucing kecil yang ditolongnya dulu itu, ternyata seekor anak singa.
Moki turun dari pohon dan memeluk Lino. Teman-teman Moki terkejut melihat keberanian Moki. Saat itu juga, mereka menobatkan Moki sebagai pahlawan mereka. Moki gembira karena kini ia memiliki banyak teman.